Ratusan Hektare Sawah di Mundumesigit Terancam Gagal Panen

KIM
Petani Mundu saat dikonfirmasi, Sabtu (21/06/25) (foto: adainfo.id)

adainfo.id – Krisis pupuk bersubsidi kembali mencuat di wilayah pesisir Kabupaten Cirebon. Tepatnya di Desa Mundumesigit, Kecamatan Mundu, ratusan hektare lahan pertanian kini berada di ambang gagal panen akibat kelangkaan pupuk jenis Phonska yang menjadi andalan petani dalam merawat padi pada fase krusial pertumbuhan.

Keluhan para petani semakin lantang terdengar seiring kosongnya stok pupuk di dua agen utama yang biasa menjadi tumpuan para petani setempat.

Jika tidak segera ada tindakan dari pemerintah daerah maupun pusat, kelangkaan ini tak hanya akan memukul hasil panen, tetapi juga mengancam ekonomi para petani Mundu serta berpotensi mengganggu kebutuhan pangan lokal maupun pasokan pasar regional.

Desa Mundumesigit yang selama ini dikenal sebagai lumbung padi di pesisir timur Cirebon dengan luas lahan sawah mencapai 125 hektare serta produksi yang cukup tinggi (antara 6 hingga 9 ton per hektare setiap musim tanam) harus mengalami kelangkaan pupuk.

Lukman, Ketua Kelompok Tani Sicawang, menyuarakan keresahan kolektif para petani. Menurutnya, pupuk Phonska bukan sekadar sarana produksi, tetapi komponen vital dalam menjamin kualitas dan kuantitas gabah saat masa panen tiba.

“Jangan sampai hasil panen kami jadi setugel atau bugel, gabah kempes tak bernas, karena kekurangan pupuk Phonska yang sangat dibutuhkan saat masa pertumbuhan padi,” tegasnya.

Pupuk Non-Subsidi Tak Terjangkau

Kondisi kian memburuk karena harga pupuk non-subsidi meroket tajam. Jika pupuk bersubsidi Phonska dibanderol sekitar Rp250 ribu per kuintal, pupuk nonsubsidi kini bisa mencapai Rp600 ribu bahkan lebih. Ketimpangan harga ini jelas membuat petani kecil tak sanggup bertahan.

“Petani menjerit. Kami tidak sanggup beli pupuk non-subsidi. Ditambah lagi harga pestisida dan obat tanaman pun naik. Kalau begini terus, bagaimana kami bisa bertahan?” keluh Lukman.

Harga input pertanian yang melambung, tanpa adanya bantuan langsung atau subsidi yang tepat sasaran, menciptakan kondisi ekonomi yang nyaris tak bisa diatasi oleh petani secara mandiri.

Dampaknya tak hanya dirasakan di sawah, tetapi juga merembet ke kebutuhan pokok di rumah tangga petani.

Petani Butuh Kepastian

Rohim, salah satu petani di blok Kalijaga, mengaku cemas akan nasib padinya yang baru memasuki usia 20 hari setelah tanam.

Menurutnya, tanpa pemupukan tepat waktu, pertumbuhan padi akan terganggu parah dan menyebabkan penurunan hasil yang signifikan.

“Kami butuh pupuk agar bisa merawat padi sampai panen. Kalau gagal, kami bukan cuma rugi di sawah, tapi juga kesulitan memenuhi kebutuhan rumah tangga,” katanya.

Situasi ini memperlihatkan betapa rentannya ketergantungan petani terhadap kebijakan distribusi pupuk, yang kerap tak selaras dengan siklus tanam di lapangan.

Distribusi Tak Merata dan Masalah Sistemik

Kelangkaan pupuk bersubsidi di Cirebon bukan kali pertama terjadi. Fenomena ini nyaris menjadi pola tahunan yang selalu berulang, namun belum terselesaikan secara menyeluruh.

Distribusi yang tidak merata, keterlambatan pasokan, hingga sistem alokasi berdasarkan e-RDKK yang belum optimal menjadi bagian dari persoalan struktural.

Di Mundumesigit sendiri, dua agen pupuk yang beroperasi mengaku tidak menerima pengiriman Phonska dalam beberapa pekan terakhir.

Padahal, musim tanam sudah berlangsung sejak awal Juni dan fase pemupukan pertama seharusnya dilakukan dalam dua minggu pertama.

Tanpa ketersediaan pupuk pada saat yang tepat, potensi kerugian menjadi lebih tinggi dibanding pengurangan subsidi itu sendiri. Petani menanggung beban besar tanpa kompensasi yang memadai.

Harapan Petani: Pemerintah Turun Tangan

Para petani di Kecamatan Mundu kini hanya bisa berharap pada intervensi pemerintah, baik di tingkat kabupaten, provinsi, maupun pusat.

Mereka meminta agar distribusi pupuk Phonska dipercepat dan diperluas, terutama di desa-desa penghasil pangan seperti Mundumesigit yang produktivitasnya tinggi namun rentan terhadap fluktuasi input produksi.

“Kami bukan hanya menanam padi, tapi menanam harapan untuk hidup. Jangan biarkan sawah kami bugel karena pupuk tak kunjung datang,” pungkas Lukman.

Harapan petani ini adalah cerminan dari krisis agraria mikro yang sering luput dari perhatian publik, padahal menyangkut langsung hajat hidup masyarakat.

Ketika sektor pangan rakyat tidak diprioritaskan, maka konsekuensinya tak hanya berupa kerugian ekonomi, tetapi juga potensi krisis sosial dan kerawanan pangan yang lebih luas.

BSP GROUP

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *