Sekolah Lansia: Inovasi Untuk Hidup Sehat Dan Berdaya di Usia Lanjut
Menapaki usia lanjut usia (lansia) adalah suatu keniscayaan, merencanakan hidup dimasa tua perlu dilakukan. Badan Pusat Statistik Indonesia (BPS) tahun 2024 menyatakan bahwa penduduk lanjut usia sudah mencapai 12,00 persen dari jumlah penduduk Indonesia dengan rasio ketergantungan lansia sebesar 17,08, artinya Indonesia sudah mengalami Aging Population dimana 1 dari 10 penduduk adalah lansia.
Ageing Population sudah terjadi sejak tahun 2021. Hal ini bisa menjadi bonus demografi kedua apabila lansianya masih produktif dan dapat memberikan sumbangan bagi perekonomian negara (Heryanah, 2015). Akan tetapi, lansia dapat menjadi tantangan pembangunan ketika tidak produktif dan menjadi bagian dari penduduk rentan.
Pada saat ini angka harapan hidup lansia di Indonesia sudah menjapai 73,6 tahun. Angka harapan hidup cenderung meningkat dari waktu ke waktu, hal ini menunjukkan adanya perbaikan dalam bidang kesehatan dan kesejahteraan masyarakat. Selain itu berbagai faktor termasuk akses terhadap layanan kesehatan, kualitas lingkungan, pola makan, dan gaya hidup juga sangat berpengaruh.
Masa tua merupakan fase kehidupan yang penuh tantangan, dan tidak jarang disertai dengan berbagai kekhawatiran yang dirasakan oleh para lansia. Kekhawatiran ini bersumber dari perubahan fisik, psikologis, sosial, hingga ekonomi yang mereka alami. Salah satu kekhawatiran utama adalah penurunan kesehatan fisik.
Seiring bertambahnya usia, tubuh lansia menjadi lebih rentan terhadap penyakit degeneratif seperti jantung, diabetes, hipertensi, osteoporosis, dan gangguan kognitif seperti demensia. Selain itu, menurunnya kekuatan otot dan kemampuan bergerak membuat mereka lebih mudah jatuh dan mengalami cedera, yang bisa berakibat fatal. Kehilangan fungsi indera seperti penglihatan dan pendengaran juga menambah kecemasan terhadap kemampuan menjalani aktivitas sehari-hari secara mandiri.
Di sisi lain, kesepian dan isolasi sosial menjadi masalah serius bagi banyak lansia. Kehilangan pasangan hidup atau teman sebaya serta keterbatasan dalam berinteraksi karena kondisi fisik seringkali membuat mereka merasa terasing. Situasi ini diperburuk dengan keterbatasan komunikasi dengan keluarga, terutama anak-anak yang sibuk bekerja atau tinggal jauh.
Perasaan tidak dibutuhkan lagi oleh lingkungan sekitar dan keluarga menimbulkan kecemasan akan hilangnya makna hidup. Selain itu, ketergantungan terhadap orang lain dalam melakukan aktivitas harian seperti mandi, berpakaian, atau makan dapat memunculkan rasa tidak berdaya dan menjadi beban bagi orang lain.
Masalah ekonomi juga menjadi sumber kekhawatiran yang signifikan. Banyak lansia yang mengalami penurunan pendapatan setelah pensiun, sementara kebutuhan akan biaya kesehatan dan perawatan justru meningkat. Ketidakpastian ekonomi ini dapat membuat mereka merasa tidak aman dan takut tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar.
Kesehatan mental pun menjadi rentan terganggu. Rasa cemas, depresi, bahkan kehilangan semangat hidup sering muncul akibat tekanan psikososial yang terus menerus. Ditambah lagi dengan ketakutan akan kematian dan kekhawatiran belum siap secara spiritual maupun emosional menghadapi akhir hayat.
Kekhawatiran lain yang tidak kalah penting adalah perasaan tidak lagi dilibatkan dalam pengambilan keputusan, baik dalam keluarga maupun mengenai diri mereka sendiri. Hal ini menimbulkan rasa tidak dihargai dan mengurangi harga diri mereka.
Untuk itu, penting bagi masyarakat dan keluarga untuk memahami dan merespons kebutuhan lansia secara holistik. Program pendidikan seperti Sekolah Lansia (SL), pendampingan psikososial, pelayanan kesehatan yang ramah lansia, dan dukungan spiritual dapat membantu mereka menghadapi masa tua dengan lebih tenang, sehat, dan bermakna. Dengan dukungan yang tepat, lansia dapat tetap merasa dihargai, berdaya, dan menjalani masa tuanya dengan penuh martabat.
Sekolah Lansia adalah bentuk inovasi pendidikan berbasis komunitas yang diinisiasi oleh Kementerian Pendudukan dan Pembangunan Keluarga/BKKBN bersama dengan Indonesia Ramah Lansia (IRL) yang ditujukan untuk memberikan pengetahuan dan keterampilan bagi para lansia agar mereka dapat menjalani masa tua yang bermakna.
Sekolah Lansia merupakan pendidikan non yang lebih menekankan pada pemberdayaan, pendekatan partisipatif, dan penguatan kapasitas pribadi dalam kehidupan sehari-hari. Materi yang diajarkan mencakup aspek kesehatan, spiritualitas, hubungan sosial, hingga keterampilan produktif.
Menurut Nugroho et al. (2020), Sekolah Lansia dapat meningkatkan kualitas hidup lansia melalui peningkatan rasa percaya diri, interaksi sosial, serta pemahaman tentang perawatan diri dan kesehatan.
Melalui berbagai materi pembelajaran, para peserta diajarkan mengenai pentingnya nutrisi yang seimbang, olahraga ringan yang sesuai usia, teknik pengelolaan stres, serta deteksi dini terhadap penyakit degeneratif seperti hipertensi dan diabetes. Selain aspek fisik, sekolah ini juga berupaya menjaga kesehatan mental dan sosial lansia. Kegiatan seperti diskusi kelompok dan pertemuan rutin memberikan ruang bagi lansia untuk saling berbagi cerita, bertukar pengalaman, dan membangun ikatan sosial, sehingga mereka tidak merasa sendiri atau terasing.
Tak hanya itu, Sekolah Lansia juga bertujuan mengembangkan potensi diri dan meningkatkan produktivitas para peserta. Beberapa sekolah bahkan menyediakan pelatihan keterampilan seperti membuat kerajinan tangan, memasak sehat, hingga pelatihan kewirausahaan sederhana yang bisa dijalankan dari rumah.
Lebih jauh lagi, keberadaan Sekolah Lansia membantu meningkatkan peran aktif para lansia dalam keluarga dan masyarakat. Mereka didorong untuk menjadi agen perubahan, pembawa nilai-nilai kearifan lokal, serta sumber kebijaksanaan yang dihormati di lingkungan sosialnya.
Untuk memperkuat gerakan Sekolah Lansia sebagai upaya strategis dalam meningkatkan kualitas hidup lanjut usia, diperlukan kolaborasi yang erat antara berbagai pihak, termasuk pemerintah, organisasi masyarakat, akademisi, dan sektor swasta. Keterlibatan multi-pihak ini penting untuk menciptakan sinergi yang mendukung keberlanjutan dan keberhasilan program secara menyeluruh.
Pemerintah dapat berperan dalam menyediakan kebijakan yang berpihak pada lansia serta dukungan anggaran dan regulasi yang memadai. Organisasi masyarakat sipil dapat menjalankan peran sebagai pelaksana lapangan yang memahami konteks lokal, sementara sektor swasta dapat berkontribusi melalui program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR), pelatihan keterampilan, atau membuka peluang wirausaha bagi lansia. Akademisi pun memiliki peran penting dalam menyumbangkan riset, modul pelatihan, dan evaluasi program secara ilmiah.
Dalam konteks ini, Model Kolaboratif Hexa Helix menjadi pendekatan strategis yang sangat relevan untuk diterapkan. Model ini mencakup enam unsur utama: akademisi, dunia usaha, komunitas, pemerintah, media, dan relawan. Melalui kolaborasi antar pemangku kepentingan tersebut, Sekolah Lansia dapat tumbuh menjadi ekosistem pembelajaran yang berkelanjutan dan berdampak luas.
Perguruan tinggi, misalnya, dapat menyumbangkan materi ajar atau tenaga ahli untuk penguatan kurikulum. Pemerintah berperan dalam menyediakan insentif dan menciptakan regulasi yang mendorong pengembangan pendidikan lansia.
Media berperan penting dalam menyebarluaskan informasi serta membentuk opini publik yang positif terhadap peran lansia di masyarakat. Dunia usaha pun dapat menjadi mitra dalam pelatihan keterampilan praktis maupun pengembangan wirausaha lansia. Sementara itu, relawan dari berbagai latar belakang dapat membantu pelaksanaan program secara langsung dan memberikan sentuhan kemanusiaan yang memperkuat hubungan sosial antar generasi.
Dengan dukungan kolaboratif yang kuat, Sekolah Lansia tidak hanya menjadi tempat belajar, melainkan juga menjadi simbol gerakan sosial yang mengangkat martabat para lanjut usia. Sekolah ini membuktikan bahwa usia bukanlah penghalang untuk terus belajar, tumbuh, dan berkontribusi. Justru melalui pendidikan yang inklusif dan berkelanjutan, para lansia dapat menjadi pribadi yang utuh, sehat, produktif, dan tetap relevan dalam kehidupan keluarga maupun masyarakat.
Inisiatif ini menunjukkan bahwa ketika diberikan ruang dan kesempatan, lansia mampu menjadi generasi tangguh yang terus menyemai nilai-nilai positif bagi generasi yang lebih muda.
Hal lain yang lebih membuat lansia bangga ikut dalam sekolah lansia adalah mereka diwisuda selayaknya mahasiswa yang lulus dari perguruan tinggi tertentu. Wisuda Sekolah Lansia menjadi momen yang sangat istimewa dan penuh makna, tidak hanya bagi para peserta didik lansia, tetapi juga bagi keluarga, masyarakat, dan para pendamping program.
Di tengah usia senja, para lansia membuktikan bahwa semangat belajar tidak pernah mengenal kata terlambat. Mengenakan toga dan menerima sertifikat kelulusan, mereka berdiri dengan kepala tegak, membawa kebanggaan yang dalam atas perjuangan mereka selama mengikuti proses pembelajaran.
Bukan hal yang mudah bagi mereka untuk kembali duduk di bangku “sekolah” setelah puluhan tahun meninggalkan dunia pendidikan formal, namun dengan tekad dan dukungan yang kuat, mereka berhasil menuntaskan setiap sesi dengan antusias dan penuh dedikasi.
Momen wisuda ini bukan sekadar seremoni, melainkan simbol dari pencapaian dan transformasi. Banyak dari mereka yang awalnya pemalu, kurang percaya diri, atau merasa tidak lagi memiliki peran dalam masyarakat, kini tampil percaya diri dan berani berbicara di depan umum, menyampaikan kesan dan pesan yang menyentuh hati.
Air mata haru kerap mengalir, baik dari para lansia sendiri maupun dari keluarga yang menyaksikan langsung proses kelulusan orang tua atau kakek-nenek mereka. Perasaan bangga bercampur haru karena melihat orang yang mereka cintai kembali menemukan semangat hidup dan rasa percaya diri.
Kebanggaan ini juga dirasakan oleh para fasilitator, relawan, dan pendamping program yang selama ini menyaksikan perkembangan para lansia secara langsung. Mereka melihat bagaimana para peserta tumbuh menjadi pribadi yang lebih sehat, aktif, dan berdaya.
Wisuda menjadi penanda bahwa pendidikan lansia bukan hanya tentang belajar materi, tetapi tentang membangun kembali martabat, kemandirian, dan makna hidup di usia lanjut. Bagi para lansia, wisuda ini menjadi pencapaian luar biasa bukan karena nilai akademik semata, melainkan karena mereka berhasil menaklukkan keterbatasan dan menunjukkan kepada dunia bahwa mereka masih bisa berkarya, belajar, dan memberi inspirasi. Wisuda Sekolah Lansia adalah perayaan kehidupan, tentang keberanian menua dengan bermartabat dan semangat yang tidak pernah padam.
Slogan “Hidup cuma sekali, jangan menua tanpa arti” menyuarakan pesan yang dalam dan menggugah bagi siapa pun yang memasuki masa lanjut usia. Kalimat ini bukan sekadar slogan, tetapi ajakan reflektif untuk menjalani hari tua dengan kesadaran, makna, dan kontribusi. Hidup memang hanya sekali, dan setiap fase kehidupan, termasuk masa tua, seharusnya menjadi kesempatan untuk terus bertumbuh, berbagi, dan memberi arti bukan sekadar menunggu waktu berlalu.
Menjadi lansia bukan akhir dari segalanya, melainkan babak baru untuk menemukan kembali jati diri, menggali potensi, serta memperkuat hubungan dengan diri sendiri, keluarga, dan masyarakat. Jangan biarkan usia menjadi batas untuk berkarya atau berhenti bermimpi. Justru di usia senja, seseorang dapat menjadi sumber kebijaksanaan, teladan nilai-nilai kehidupan, dan agen perubahan sosial yang menginspirasi generasi yang lebih muda.
Melalui Slogan ini, kita diajak untuk tidak sekadar hidup, tapi menghidupi hidup dengan makna. Karena sejatinya, menua dengan arti adalah tentang menjalani hidup yang tetap berdaya, dihargai, dan penuh tujuan hingga akhir hayat.