Terkait Garis Kemiskinan Global, Airlangga Buka Suara
adainfo.id – Menanggapi pembaruan garis kemiskinan global oleh Bank Dunia (World Bank) yang menyebabkan lonjakan angka kemiskinan Indonesia versi internasional, Pemerintah Indonesia melalui Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menegaskan bahwa pengukuran kemiskinan nasional masih mengacu pada standar Badan Pusat Statistik (BPS).
Pernyataan ini disampaikan Airlangga usai rapat koordinasi di kantornya, Jakarta, Selasa (10/6/2025), menyusul peningkatan signifikan garis kemiskinan global oleh Bank Dunia dari US$6,85 menjadi US$8,30 per hari berdasarkan Purchasing Power Parity (PPP) 2021.
“Ya, kita menggunakan standar yang ada di kita, ya kita ikut standar BPS,” tegas Airlangga.
Standar Bank Dunia Naik, Tingkat Kemiskinan Indonesia Versi Global Meningkat
Berdasarkan dokumen June 2025 Update to the Poverty and Inequality Platform (PIP), Bank Dunia merevisi ke atas tiga lini garis kemiskinan setelah mengadopsi 2021 PPP. Indonesia, yang masuk kategori negara berpendapatan menengah ke atas (Upper-Middle Income Country/UMIC), kini menggunakan patokan baru US$8,30 PPP per hari.
Dengan standar ini, Bank Dunia mencatat tingkat kemiskinan Indonesia mencapai 68,3% dari total 285,1 juta jiwa penduduk pada tahun 2024, atau setara dengan 194,72 juta orang miskin. Ini naik signifikan dari perhitungan sebelumnya (US$6,85 PPP), yang menunjukkan angka 60,3% atau 171,91 juta jiwa.
BPS: Ukuran Global Tak Langsung Bisa Diterapkan
Meski demikian, Badan Pusat Statistik (BPS) menilai bahwa penerapan garis kemiskinan internasional tersebut belum dapat sepenuhnya diadopsi di Indonesia. Alasan utamanya adalah posisi Indonesia yang baru saja naik kelas ke kategori UMIC, dan masih berada sedikit di atas ambang batas bawah kategori tersebut, yakni US$4.516 per kapita.
“Jika standar kemiskinan global diterapkan, jumlah penduduk miskin kita akan sangat tinggi. Sementara, penghitungan kemiskinan harus sesuai karakteristik sosial ekonomi masing-masing negara,” jelas BPS dalam siaran pers 2 Mei 2025.
BPS menambahkan bahwa Bank Dunia sendiri menganjurkan setiap negara tetap mengacu pada National Poverty Line, yang disesuaikan dengan kondisi lokal.
Indonesia Gunakan Metode CBN (Cost of Basic Needs)
Pengukuran kemiskinan nasional Indonesia berbasis pada pendekatan kebutuhan dasar atau Cost of Basic Needs (CBN). Artinya, garis kemiskinan dihitung dari jumlah pengeluaran minimum yang dibutuhkan seseorang untuk memenuhi kebutuhan pokok makanan dan non-makanan, termasuk: kakanan yang setara 2.100 kilokalori per hari (beras, tempe, tahu, sayur, telur, minyak goreng) serta non-makanan yang meliputi perumahan, pendidikan, transportasi, kesehatan, pakaian. Data untuk perhitungan tersebut diambil dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilaksanakan dua kali setahun.
Pada September 2024, garis kemiskinan nasional per kapita adalah Rp595.242 per bulan. Dengan rata-rata rumah tangga miskin terdiri dari 4,71 anggota, maka total pengeluaran minimum untuk rumah tangga miskin adalah sekitar Rp2.803.590 per bulan.
Selain itu, nilai garis kemskinan rumah tangga di tiap provinsi berbeda-beda, sebagai contoh; Jakarta memiliki nilai Garis kemiskinan rumah tangga sebesar Rp. 4.238.886, NTT sebesar Rp. 3.102.215, dan Lampung sebesar RP. 2.821.375. Perbedaan ini mencerminkan variasi harga hidup, struktur konsumsi, dan biaya kebutuhan dasar di tiap daerah.
Pemerintah Pastikan Program Pengentasan Kemiskinan Tidak Terganggu
Airlangga juga menegaskan bahwa program-program pengentasan kemiskinan nasional tidak akan terganggu oleh perbedaan indikator garis kemiskinan antara BPS dan Bank Dunia. Bahkan, pemerintah siap menyelaraskan arah pembangunan jangka panjang dengan benchmark internasional seperti OECD, seiring ambisi Indonesia untuk masuk ke dalam keanggotaan organisasi tersebut.
“Kalau OECD kan kita bicara menuju negara maju. Masalah progres pembangunan tentu menggunakan benchmark yang ada, dan itu jadi pembanding global,” ucap Airlangga.
Pentingnya Konteks Lokal dalam Kebijakan Sosial
Perbedaan garis kemiskinan global dan nasional menunjukkan pentingnya mempertimbangkan realitas sosial ekonomi lokal dalam penyusunan kebijakan. Penggunaan garis kemiskinan BPS diyakini lebih mencerminkan kondisi riil masyarakat Indonesia, termasuk pola konsumsi kolektif dalam rumah tangga.
Kebijakan berbasis data lokal memungkinkan program bantuan sosial dan perlindungan masyarakat lebih tepat sasaran, efisien, dan berkeadilan.
Naiknya standar garis kemiskinan Bank Dunia tentu penting sebagai pengingat bahwa masih banyak pekerjaan rumah dalam mengatasi ketimpangan sosial dan kemiskinan struktural di Indonesia. Namun, adopsi indikator global perlu dilakukan secara hati-hati, agar tidak memicu ketidaksesuaian kebijakan nasional.
Pemerintah tetap fokus menggunakan data BPS dengan pendekatan kebutuhan dasar sebagai basis kebijakan nasional, sembari membuka ruang harmonisasi dengan standar internasional untuk tujuan jangka panjang menuju negara maju.