Tradisi Mapag Sri di Guwa Lor: Warisan Budaya Agraris untuk Perkuat Semangat Petani Cirebon

KIM
Tradisi wayang kulit pada acara Mapag Sri, Desa Guwa Lor (foto: cirebonkab.go.id)

adainfo.id – Pemerintah desa Guwa Lor, Kecamatan Kaliwedi, Kabupaten Cirebon bersama warganya kembali menggelar tradisi tahunan Mapag Sri, sebuah upacara adat sebagai bentuk rasa syukur sekaligus penguatan semangat para petani menjelang musim panen, Rabu (18/06/2025).

Digelar di depan balai desa, tradisi ini tidak sekadar menjadi seremoni budaya, tetapi juga simbol keberlanjutan nilai-nilai agraris masyarakat pesisir Cirebon.

Malam harinya, rangkaian kegiatan dilanjutkan dengan pagelaran wayang kulit semalam suntuk, menghadirkan cerita bertema pertanian, kehidupan sosial, dan etika bermasyarakat.

Mapag Sri: Tradisi yang Mengakar Kuat dalam Budaya Tani Cirebon

Menurut Kuwu Desa Guwa Lor, Maksudi, Mapag Sri bukan sekadar ritual menjelang panen, melainkan warisan leluhur yang menyimpan makna dalam tentang kebersamaan, spiritualitas, dan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa.

“Alhamdulillah tahun ini kami bisa kembali menyelenggarakan Mapag Sri dengan pementasan wayang kulit. Siang harinya, ceritanya tentang pertanian dan hama. Malamnya, pesan-pesan moral seperti tata krama dan hidup rukun,” ungkap Maksudi.

Ia menambahkan bahwa sebagian besar warga Guwa Lor merupakan petani yang baru saja memulai musim panen. Meski masa tanam sempat mengalami keterlambatan hingga akhir Februari, hasil panen tahun ini dinilai cukup baik.

“Panen kali ini masih cukup baik meski tidak seoptimal biasanya. Per bau kami dapat 4 sampai 4,5 ton. Biasanya bisa sampai 5–6 ton, tapi alhamdulillah masih lebih tinggi dibanding desa lain,” terang Maksudi.

Wayang Kulit sebagai Media Edukasi dan Dakwah Sosial

Kegiatan Mapag Sri tahun ini turut mendapat dukungan penuh dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kabupaten Cirebon. Sekretaris Disbudpar, Amin Mughni, dalam keterangannya menyebut bahwa kegiatan tersebut merupakan contoh konkret pelestarian budaya lokal yang masih hidup dan berkembang.

“Wayang kulit bukan sekadar hiburan, tetapi bagian dari sejarah budaya yang dulu digunakan para wali untuk menyebarkan Islam, khususnya oleh Sunan Kalijaga yang menggagas penyampaian dakwah melalui seni,” ujarnya.

Amin juga menekankan pentingnya mempertahankan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam tradisi Mapag Sri, seperti rasa syukur, kesederhanaan, solidaritas, dan pendidikan karakter yang ditanamkan melalui cerita-cerita pewayangan.

Dukungan Disbudpar: Revitalisasi Budaya Pesisir

Disbudpar Kabupaten Cirebon saat ini sedang menggalakkan kembali sejumlah tradisi khas pesisir, termasuk sedekah laut atau nadran, tari topeng, angklung bungko, wayang golek, hingga ronggeng bugis. Semua ini dilakukan dalam rangka revitalisasi budaya yang kini menghadapi tantangan globalisasi dan modernisasi.

“Sekarang ini di wilayah pesisir juga tengah digalakkan kembali sedekah laut atau nadran, termasuk pentas tari topeng, angklung bungko, wayang golek, hingga ronggeng bugis. Semua ini merupakan upaya bersama untuk merawat budaya Cirebon,” jelas Amin.

Ia juga menambahkan bahwa dukungan pemerintah terhadap kegiatan berbasis desa merupakan bagian dari program strategis untuk menjaga eksistensi budaya lokal yang selama ini menjadi identitas masyarakat Cirebon.

Petani Tetap Semangat Meski Hadapi Tantangan Hama

Di balik perayaan budaya tersebut, para petani Desa Guwa Lor tetap harus menghadapi tantangan teknis di lapangan. Musim tanam yang mundur menyebabkan banyak lahan diserang hama seperti walang sangit dan lembing batu.

Meski demikian, semangat petani tetap tinggi karena mereka menilai tradisi Mapag Sri memberikan motivasi tambahan dalam bekerja.

“Ini bukan hanya tentang budaya. Ini penyemangat kami para petani. Setelah panen tahun lalu yang berat, kami tetap berjuang meski banyak kendala. Dan Mapag Sri mengingatkan kami bahwa kerja keras ini harus tetap disyukuri,” tutur Sarpan, seorang petani setempat.

Tradisi yang Menyatukan Generasi Tua dan Muda

Selain sebagai simbol spiritualitas dan syukur, Mapag Sri juga menjadi ruang interaksi antargenerasi. Anak-anak muda Guwa Lor tampak antusias terlibat dalam rangkaian kegiatan, mulai dari membantu persiapan acara hingga menyaksikan pertunjukan wayang kulit yang penuh pesan moral.

Tokoh pemuda setempat, Eki Mulyana, menyampaikan bahwa Mapag Sri menjadi kesempatan langka untuk mengenalkan budaya kepada generasi muda di tengah arus modernisasi yang masif.

“Kami ingin anak-anak muda tahu, ini lho budaya kita. Jangan sampai hilang hanya karena kita lupa mengenalkannya,” katanya.

Menjaga Tradisi, Merawat Identitas Kolektif

Tradisi Mapag Sri di Desa Guwa Lor menjadi satu dari sekian banyak bukti bahwa budaya agraris masyarakat Cirebon masih hidup dan mengakar kuat.

Pemerintah desa, dinas kebudayaan, dan masyarakat bahu-membahu menjaga agar tradisi ini tidak lekang dimakan zaman.

Dengan mempertahankan kegiatan seperti ini, bukan hanya hasil panen yang dirayakan, tetapi juga semangat gotong royong, kesadaran budaya, dan semangat lokalitas yang terus dijaga sebagai identitas kolektif masyarakat.

BSP GROUP

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *