Trump Hajar RI Dengan Tarif 32%
adainfo.id – Presiden Amerika Serikat Donald Trump kembali membuat gebrakan kontroversial di bidang perdagangan. Kali ini, Indonesia menjadi salah satu dari 14 negara yang dikenai tarif impor baru sebesar 32 persen. Kebijakan tersebut mulai berlaku 1 Agustus 2025, mundur dari jadwal awal yang direncanakan pada 9 Juli.
Surat resmi terkait pemberlakuan tarif telah dikirimkan Trump kepada Presiden Prabowo Subianto, menandai langkah lanjutan AS dalam perang dagang global. Negara-negara lain yang turut menerima surat serupa antara lain Malaysia, Myanmar, Thailand, Serbia, hingga Afrika Selatan.
AS berdalih bahwa kebijakan tarif ini didasarkan pada neraca perdagangan yang dinilai merugikan mereka. Indonesia disebut memiliki defisit perdagangan terhadap AS sebesar US$18 miliar. Artinya, nilai ekspor Indonesia ke AS jauh lebih besar daripada impor dari AS ke Indonesia.
Trump menyebut tarif ini sebagai bentuk timbal balik dan tekanan kepada negara-negara yang dianggap mengambil keuntungan sepihak dari perdagangan bilateral.
Negosiasi Indonesia Gagal, Ekonomi RI Diprediksi Memburuk
Menurut Direktur Eksekutif CELIOS Bhima Yudhistira, keputusan ini menunjukkan bahwa negosiasi pemerintah RI gagal membuahkan hasil. Padahal Indonesia sudah menawarkan berbagai bentuk kerja sama seperti pembelian minyak, LPG, dan LNG dari AS.
“Ini artinya negosiasi tidak efektif. Dan tarif ini akan berdampak sangat serius bagi ekonomi kita,” kata Bhima.
CELIOS memperkirakan, tarif 32 persen akan menurunkan nilai ekspor Indonesia hingga Rp 105,9 triliun. Selain itu, output ekonomi nasional diproyeksikan anjlok Rp 164 triliun.
Industri Padat Karya Jadi Korban Utama
Sektor yang paling rentan terhadap kebijakan ini adalah industri padat karya, seperti alas kaki, tekstil, dan pakaian jadi. Bhima mengungkapkan bahwa pengenaan tarif ini bisa mengakibatkan turunnya pendapatan tenaga kerja hingga Rp 52 triliun.
Dampak paling nyata adalah potensi pemutusan hubungan kerja (PHK) yang mencapai 1,2 juta orang. Mayoritas korban akan berasal dari industri yang selama ini sangat tergantung pada pasar ekspor AS.
“Ini bukan hanya soal ekonomi, tapi krisis sosial. PHK massal bisa menimbulkan gejolak yang lebih besar,” tegas Bhima.
Bhima mendorong pemerintah segera melakukan langkah nyata untuk mengalihkan pasar ekspor. Ia menyarankan perluasan tujuan ke negara-negara ASEAN, BRICS, Timur Tengah, Asia Selatan, dan Amerika Latin.
“Pasar ekspor harus segera digeser. Kita tak bisa hanya bergantung pada AS,” ujarnya.
Langkah diversifikasi ini dinilai vital agar Indonesia tidak terjebak dalam ketergantungan yang berujung pada kehancuran sektor manufaktur dan hilangnya lapangan kerja.
CSIS: Dampak PHK di Industri Tekstil Sangat Nyata
Direktur Eksekutif CSIS Yose Rizal Damuri juga mengamini bahwa sektor padat karya akan tertekan berat. Ia menyebutkan, hanya di industri tekstil dan garmen saja ada sekitar 1 juta pekerja aktif.
“Kalau ekspor ke AS turun, imbasnya langsung ke industri dan tenaga kerja. Tekanan besar akan muncul dari situ,” kata Yose.
Ia memperkirakan akan ada tekanan luar biasa pada struktur ketenagakerjaan, terutama di sentra-sentra produksi garmen seperti Jawa Barat dan Jawa Tengah.
Hingga saat ini, baru Inggris dan Vietnam yang berhasil menyepakati negosiasi tarif dengan AS. Keduanya berhasil menurunkan beban tarif dan mempertahankan akses pasar mereka di Amerika.
Sebaliknya, Indonesia belum menunjukkan perkembangan signifikan dalam diplomasi dagangnya dengan Washington. Ini menjadi sorotan serius terhadap kapasitas diplomasi ekonomi pemerintah RI di tengah krisis global.
Kondisi saat ini memerlukan respons yang cepat dan terukur dari pemerintah. Selain diversifikasi pasar, insentif kepada industri padat karya juga menjadi kebutuhan mendesak untuk menjaga daya saing di pasar global.
Pemerintah juga perlu membuka ruang diplomasi yang lebih luas, baik secara bilateral maupun melalui forum multilateral seperti WTO atau ASEAN, untuk menekan kebijakan sepihak AS.
Jika tidak, Indonesia terancam kehilangan momentum pemulihan ekonomi pasca-pandemi, dan menghadapi lonjakan pengangguran yang tak terkendali.
Pelaku usaha dan investor kini menanti langkah konkret pemerintah dalam merespons kebijakan tarif ini. Ketidakpastian bisa menggerus kepercayaan terhadap pasar Indonesia dan membuat investor memilih negara lain sebagai basis produksi.
Kecepatan, koordinasi antarinstansi, dan kepemimpinan tegas menjadi kunci bagi Indonesia untuk bertahan dalam tekanan ini.