Wacana Larangan Impor Picu Kekhawatiran Pelaku Thrifting di Berbagai Daerah
adainfo.id – Wakil Ketua Badan Aspirasi Masyarakat (BAM) DPR RI, Adian Napitupulu, menyampaikan bahwa suara para pelaku usaha thrifting harus mendapat perhatian serius ketika pemerintah menyusun kebijakan terkait impor pakaian bekas.
Sikap ini menjadi penting mengingat wacana larangan impor kembali mencuat dan menimbulkan kecemasan di lapangan.
Adian menegaskan bahwa DPR tidak boleh bergerak dalam ruang hampa informasi.
Kebijakan, menurut Adian, harus berpijak pada data, realitas sosial, dan pemahaman yang memadai terhadap sektor yang melibatkan jutaan masyarakat.
Pernyataan itu disampaikan Adian saat menghadiri Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama perwakilan pelaku usaha pakaian bekas dari Jakarta, Lampung, Bandung, Papua, Jambi, hingga Yogyakarta.
Pertemuan berlangsung di Ruang Rapat BAM DPR RI, Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (19/11/2025).
DPR Tekankan Perlunya Memahami Kondisi Nyata di Lapangan
Adian menyebutkan bahwa BAM DPR RI ingin mendengar langsung realitas yang dihadapi pelaku usaha.
Ia menilai, isu thrifting selalu menjadi topik tahunan, tetapi penanganannya cenderung parsial dan tidak menyentuh akar persoalan.
Menurut Adian, wacana larangan impor pakaian bekas kerap menimbulkan geger, terutama bagi pedagang kecil yang hidup dari aktivitas jual beli barang bekas.
Ketika regulasi tidak dibarengi solusi, rakyat kecil yang paling terdampak.
Adian mengingatkan bahwa negara tidak boleh bertindak hanya karena stigma, melainkan harus berdasarkan kondisi riil.
“Negara tidak boleh hanya hadir dengan tindakan, tetapi juga dengan keadilan. Kita tidak boleh mengambil keputusan yang menekan rakyat kecil ketika negara sendiri belum mampu menyediakan lapangan pekerjaan yang memadai,” papar Adian dikutip Rabu (19/11/2025).
Data Tekstil Ilegal Jadi Sorotan: Thrifting Hanya 0,5 Persen
Adian turut membawa data yang menjadi rujukan penting. Ia menyebut bahwa barang thrifting yang masuk ke Indonesia hanya sekitar 3.600 kontainer, atau 0,5 persen dari total 28.000 kontainer tekstil ilegal yang beredar di Tanah Air.
Angka tersebut menunjukkan bahwa thrifting bukan ancaman utama bagi industri dalam negeri.
Adian menekankan bahwa perumusan kebijakan harus melihat data tersebut secara jernih.
Jika akar persoalan justru terdapat pada banjir barang impor ilegal baru, maka kebijakan tidak boleh justru menyasar kelompok yang tidak menjadi penyebab utama.
Salah satu isu utama yang disampaikan para pedagang adalah mengenai penertiban yang dinilai keras, merugikan, dan memperlakukan mereka seolah pelaku kriminal.
Menurut Adian, kondisi seperti ini tidak bisa terus terjadi.
Ia menegaskan pemerintah harus menghadirkan solusi terlebih dahulu, sebelum melakukan penindakan di lapangan.
Prinsip keadilan sosial, kata Adian, tidak boleh ditinggalkan dalam proses penegakan aturan.
Jika negara tidak hadir memberikan ruang hidup yang layak, maka penegakan hukum tidak boleh dilakukan secara kaku dan merugikan masyarakat kecil.
Pedagang Ungkap Dominasi Produk Impor Baru, Bukan Thrifting
Dalam forum RDPU, para pelaku thrifting memberikan testimoni mengenai persoalan yang mereka hadapi.
Salah satunya disampaikan Rifai Silalahi, perwakilan pedagang dari Pasar Senen, Jakarta.
Rifai menekankan bahwa kegiatan usaha pakaian bekas telah berlangsung puluhan tahun dan menjadi bagian dari ekosistem UMKM yang menghidupi banyak keluarga.
Menurut Rifai, pelaku thrifting tidak bersinggungan langsung dengan produk UMKM lokal, dan justru bukan pihak yang merusak pasar.
“Yang merusak pasar itu bukan kami, tapi banjirnya produk impor baru. China menguasai 80 persen, ditambah barang dari Amerika, Vietnam, dan India sekitar 15 persen. Produk lokal hanya tersisa 5 persen,” terang Rifai.
Pernyataan itu memperkuat argumentasi bahwa permasalahan tekstil nasional tidak semata-mata berasal dari pasar pakaian bekas.
Untuk menampung seluruh aspirasi, Adian menyatakan bahwa BAM DPR RI akan menindaklanjuti masukan dengan menggelar dialog lanjutan bersama kementerian terkait, terutama Kementerian Keuangan dan Kementerian Perdagangan.
Ia menegaskan bahwa penyelesaian persoalan thrifting membutuhkan pendekatan menyeluruh, melibatkan seluruh pemangku kepentingan.
Kemudian juga mencakup aspek ekonomi, sosial, serta keberlanjutan mata pencaharian pedagang.
Keberlanjutan UMKM menjadi salah satu pilar utama yang ingin dijaga DPR dalam proses pembahasan kebijakan.











