Warga Desa Melakasari Buru Tikus Leptospirosis

KIM
Kuwu Melakasari bersama warga saat melakukan pencarian tikus pembawa bakteri laptospirosis, Sabtu (14/06/25)

adainfo.id – Dalam dua hari terakhir, suasana Desa Melakasari, Kecamatan Gebang, Kabupaten Cirebon, jauh dari kata tenang.

Warga desa, mulai dari perangkat RT hingga pemuda karang taruna, saling bergantian menyisir sudut kampung dalam perburuan tikus pembawa bakteri leptospirosis.

Sabtu (14/06/2025) menjadi hari kedua dari aksi tanggap darurat yang dilakukan secara swadaya oleh masyarakat. Dalam dua hari itu, sebanyak 12 ekor tikus berhasil ditangkap. Namun tikus utama yang dicurigai sebagai penyebab penularan penyakit belum juga ditemukan.

“Belum ada satu pun yang memenuhi ciri-ciri tikus pembawa leptospirosis,” ujar Kuwu Desa Melakasari, Sochibi, saat ditemui di sela kegiatan pencarian.

Menurut Dinas Kesehatan Kabupaten Cirebon, tikus pembawa bakteri leptospira memiliki karakteristik sangat khas: botak, tak berbulu, terlihat tua dan lemah, namun masih berkeliaran.

Tikus jenis inilah yang dianggap menjadi sumber penularan utama dan sangat berbahaya bila kontak langsung dengan manusia.

Kekhawatiran Meningkat, Warga Tingkatkan Kewaspadaan

Warga Melakasari tidak lagi menganggap perburuan ini sebagai rutinitas pengendalian hama biasa. Kekhawatiran meningkat tajam sejak satu warga mereka, berinisial MM, dikonfirmasi terpapar leptospirosis dan sempat dirawat di RS IHC Pelabuhan Cirebon.

Meski kini menjalani isolasi mandiri di rumah dan mulai membaik, kekhawatiran akan penyebaran penyakit terus menghantui.

“Kami khawatir kalau tikus itu tiba-tiba ditemukan dan dipukul, darah atau cairannya bisa menyebar ke warga yang memegangnya. Maka kami sepakat gunakan jebakan dan racun tikus sebagai metode yang lebih aman,” jelas Sochibi.

Pencarian Diperluas, Tikus Bukan Lawan Mudah

Di bawah terik matahari, warga tak hanya menyisir area sekitar rumah MM di RT 04 RW 01, Dusun 1, tapi juga memperluas pencarian ke kolong jembatan, parit besar, hingga gorong-gorong. Mereka percaya, tikus cerdas ini kemungkinan bersembunyi di tempat lembap dan sulit dijangkau.

“Siang hari tikus-tikus itu jarang keluar. Kalau malam, kami hanya bisa mengandalkan jebakan yang dipasang sore hari. Tempat persembunyian mereka itu di sela-sela fondasi rumah dan saluran air, sulit dijangkau,” ungkap Nawawi, salah satu warga yang ikut berburu.

Pola Penyebaran Leptospirosis dan Tindakan Pencegahan

Leptospirosis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri leptospira, yang biasanya ditularkan melalui urine tikus atau binatang pengerat lainnya. Penularan bisa terjadi ketika manusia menyentuh atau mengonsumsi makanan dan air yang sudah terkontaminasi.

Menurut informasi dari Dinas Kesehatan, penyakit ini tidak menyebar lewat udara atau napas, melainkan lewat kontak langsung dengan cairan tubuh tikus atau melalui luka terbuka di kulit manusia. Karena itu, pencegahan difokuskan pada pengendalian tikus dan higienitas lingkungan.

“Kami sudah mengimbau warga agar tidak mengucilkan keluarga pasien. Penularan tidak terjadi lewat pernapasan atau kontak sosial biasa. Tapi kami tetap minta keluarga menjaga jarak dan tidak memakai alat makan bersama,” tutur Sochibi, mengutip pesan dari tim kesehatan.

MM juga diminta rutin berjemur setiap pagi, menjaga asupan makanan, serta menghindari aktivitas berat selama masa pemulihan. Semua ini dilakukan untuk menjaga imunitas dan mencegah gejala berulang.

Kecurigaan: Tikus Terbawa Arus Banjir

Wilayah Melakasari memang dikenal sebagai daerah rawan banjir musiman. Kuwu Sochibi menduga, tikus pembawa leptospirosis itu bisa saja berasal dari luar desa, terbawa arus air saat banjir besar beberapa waktu lalu.

“Melakasari ini kalau hujan deras bisa langsung banjir. Mungkin tikus itu ikut hanyut dari daerah lain dan menetap di sini. Makanya kami akan terus cari sampai ketemu,” katanya.

Peristiwa ini telah membangkitkan solidaritas kampung. Tanpa harus menunggu komando dari aparat daerah, warga bergerak cepat, memasang jebakan, menyisir lingkungan, dan mengoordinasikan laporan setiap hari.

Berbagai alat seadanya digunakan—mulai dari jaring bekas, ember, kayu pemukul, hingga pancing rakitan. Racun tikus dibeli dari toko pertanian dengan patungan warga. Dalam hal ini, tak ada kasta, semua bergandengan tangan: perangkat desa, guru, petani, pemuda, hingga ibu rumah tangga.

“Ini bukan soal siapa yang bertanggung jawab. Ini soal semua warga. Kami juga tidak ingin ini menjadi wabah,” kata salah seorang ibu rumah tangga yang ikut memasang perangkap di belakang dapur rumahnya.

Kasus Melakasari bukanlah yang pertama di Cirebon. Dalam tiga tahun terakhir, leptospirosis menjadi penyakit infeksius yang mencatat lonjakan kasus tertinggi di beberapa kecamatan berbasis pertanian dan daerah aliran sungai (DAS).

Melalui peristiwa ini, banyak pihak mulai mendorong perluasan program Gerakan Desa Sehat berbasis lingkungan, termasuk penyuluhan, sistem pelaporan dini, hingga pengadaan alat pengendali hama yang layak di tingkat RT.

BSP GROUP

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *