Warung Dibongkar Tanpa Pemberitahuan, Warga Wangkelang Kecewa pada Pemdes
adainfo.id – Kekecewaan mendalam dirasakan oleh Karnengsih, warga Blok Pahing, Desa Wangkelang, Kecamatan Lemahabang, Kabupaten Cirebon.
Warung yang selama ini menjadi tumpuan hidup keluarganya dibongkar secara paksa oleh Pemerintah Desa (Pemdes) Wangkelang tanpa pemberitahuan lebih dulu.
Menurut Karnengsih, pembongkaran itu sangat mendadak dan membuatnya tidak sempat melakukan persiapan, baik menyelamatkan barang dagangan maupun peralatan warung.
“Dulu tanahnya jurang, saya urug dan dibangun pada akhir 2018. Untuk ngurug saja saya habis Rp3 juta, belum lagi untuk bangunannya. Kalau soal izin, saya juga sudah izin ke desa. Tapi pas dibongkar, kita tidak dikasih pemberitahuan,” ungkapnya, Senin (08/09/2025).
Warung yang berdiri sejak 2018 itu menjadi satu-satunya sumber penghasilan Karnengsih.
Ia setiap hari berjualan batagor, sarapan, hingga makanan ringan untuk warga sekitar.
Namun kini, setelah warung dibongkar, ia kehilangan pendapatan tetap dan harus mencari pekerjaan serabutan untuk menyambung hidup.
“Sekarang paling juga kerja seadanya. Saya hanya minta ganti rugi, tapi pihak desa tidak menggubris,” keluhnya Karnengsih.
Kerugian yang ia derita tidak sedikit. Selain biaya pengurugan, modal yang dipakai untuk membangun warung dan membeli perlengkapan kini hilang begitu saja tanpa ada kompensasi dari pemerintah desa.
Status Tanah dan Rencana Pembangunan
Informasi yang dihimpun menyebutkan, lahan yang ditempati warung Karnengsih merupakan aset pengairan atau PSDA (Pengelolaan Sumber Daya Air).
Pemdes Wangkelang berencana membangun fasilitas posyandu desa di lokasi tersebut.
Meski alasan pembangunan fasilitas umum dinilai penting, namun cara Pemdes dalam mengeksekusi pembongkaran dipertanyakan banyak pihak.
Warga menilai seharusnya ada musyawarah, pemberitahuan resmi, serta solusi bagi pemilik bangunan yang terdampak.
Warga Dukung Karnengsih
Kisah Karnengsih memantik simpati warga sekitar. Tokoh masyarakat, Didin, menilai tindakan Pemdes Wangkelang tidak manusiawi karena mengabaikan hak-hak warganya sendiri.
“Warung itu dibangun dengan uang pribadi. Warga cuma minta ganti rugi Rp2,5 juta, masa iya pemdes tidak mau mengganti?” ucapnya prihatin.
Didin menambahkan, masyarakat tidak menolak pembangunan posyandu.
Namun pemerintah desa seharusnya menempuh jalur yang lebih bijak dengan menghargai jerih payah warganya.
Baginya, pembangunan desa harus berjalan selaras dengan prinsip keadilan sosial.
Respons Kuwu Wangkelang
Menanggapi keluhan tersebut, Kuwu Wangkelang, Sakid, menjelaskan bahwa lahan yang digunakan memang aset negara sehingga berhak dipakai untuk pembangunan fasilitas umum.
“Soal keberatan warga nanti saya ajak ke Camat atau Bupati kalau masih keberatan. Yang jelas tanah tersebut milik negara,” tegasnya.
Namun, keterangannya justru memunculkan pertanyaan baru.
Saat ditanya mengenai papan informasi proyek pembangunan posyandu yang seharusnya terpasang di lokasi, warga mengaku tidak menemukannya.
Sakid berdalih bahwa papan proyek sudah dipasang.
Tetapi, pengecekan di lapangan menunjukkan fakta berbeda: papan proyek tidak terlihat.
Hal ini menimbulkan kecurigaan warga terkait transparansi proyek pembangunan tersebut.
Transparansi Pembangunan Desa Jadi Sorotan
Kasus pembongkaran warung di Wangkelang menjadi sorotan publik.
Bukan hanya soal ganti rugi yang tidak digubris, tetapi juga menyangkut transparansi penggunaan aset desa dan kejelasan rencana pembangunan posyandu.
Sejumlah warga mendesak agar Pemdes membuka informasi secara jelas mengenai anggaran, pelaksanaan proyek, serta langkah musyawarah sebelum mengambil keputusan yang merugikan masyarakat.
Bagi Karnengsih, perjuangan mencari keadilan masih berlanjut.
Ia berharap suaranya bisa didengar pemerintah tingkat kecamatan maupun kabupaten agar kejadian serupa tidak menimpa warga lain di kemudian hari.