GATI: Gerakan Ayah di Tengah Tantangan Budaya dan Lintas Generasi

Ilustrasi ayah dan anak (foto: freepik)

Peringatan Hari Keluarga Nasional ke-32 menjadi momen penting untuk merefleksikan kembali peran keluarga sebagai fondasi utama pembangunan bangsa. Dengan mengusung tema “Dari Keluarga untuk Indonesia Maju,” ajakan ini mengingatkan bahwa kemajuan bangsa dimulai dari relasi-relasi paling dasar dalam keluarga terutama melalui kehadiran dan keterlibatan orang tua, termasuk ayah.

Di tengah perubahan sosial dan budaya yang cepat, peran ayah dalam keluarga sering kali masih berfokus pada aspek finansial, padahal keterlibatan secara emosional dan komunikasi yang responsif kini menjadi bagian penting dalam mendampingi tumbuh kembang anak.

Artikel ini menyoroti pentingnya peran ayah dalam keluarga Indonesia modern melalui lensa teori komunikasi antarbudaya dan antar generasi, serta menelaah Gerakan Ayah Teladan Indonesia (GATI) yang diinisiasi oleh Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga/BKKBN sebagai upaya strategis untuk membangun keluarga yang tangguh, reflektif, dan setara.

Indonesia dikenal sebagai bangsa yang menjunjung tinggi nilai kekeluargaan. Namun, dalam praktiknya, peran ayah dalam keluarga masih sering terabaikan. Ia hadir sebagai pencari nafkah, tapi tidak selalu hadir sebagai pendamping emosional anak. Padahal, di tengah perubahan zaman yang begitu cepat dengan pergeseran nilai, lonjakan teknologi, dan keberagaman budaya, peran ayah menjadi semakin krusial dan kompleks.

Peran Ayah Dalam Pengasuhan Anak

Di tengah arus digitalisasi dan keberagaman budaya Indonesia, tantangan menjadi ayah semakin kompleks, bukan hanya soal kehadiran fisik, tapi juga keterlibatan emosional dan komunikasi yang adaptif. Fenomena ini mendorong lahirnya isu fatherles, minimnya kehadiran fisik maupun emosional ayah dalam pengasuhan.

Penelitian O’Neill (2002), Wae dan Chandra (2024), serta data I-NAMHS dan SKI menunjukkan korelasi kuat antara fatherless dan gangguan mental anak: kecemasan, tidak percaya diri, ganguan hubungan sosial, depresi, kenakalan remaja, hingga niat bunuh diri.

Survei Kesehatan Indonesia (SKI) Tahun 2023 menunjukkan bahwa prevalensi gangguan kesehatan jiwa pada kelompok usia 15-24 tahun berjumlah 2% dan angka depresi paling banyak ditemukan pada usia 15-24 tahun, sebagian diantaranya memiliki pikiran untuk mengakhiri hidupnya.

Psikolog UGM Diana Setiyawati dan Gloria Siagian (Mykidz Clinic) juga menguatkan bahwa keterlibatan ayah penting bagi perkembangan emosi dan identitas anak, serta kualitas relasi ibu-anak. Minimnya peran ayah menyebabkan anak kesulitan mengatur emosi, mengalami kecemasan, depresi (internalisasi), dan perilaku agresif (eksternalisasi).

Namun, problem ini bukan hanya soal absennya sosok ayah. Lebih dalam, ini soal kegagalan komunikasi antar generasi dan budaya dalam keluarga. Ayah yang dibesarkan dalam budaya patriarkal dan pola komunikasi kaku kini harus berhadapan dengan anak-anak generasi Z dan Alpha yang tumbuh dalam kultur digital, serba terbuka, dan ekspresif. Terjadi benturan nilai dan gaya komunikasi yang kerap membuat ayah merasa canggung, bahkan tersisih.

Di sinilah pentingnya pendekatan komunikasi antarbudaya dan antar generasi.  Karena pada akhirnya, keluarga bukan sekadar tempat tinggal, melainkan ruang belajar lintas generasi, tempat nilai ditanamkan, perbedaan dirayakan, dan kedekatan emosional dibangun melalui komunikasi yang hangat dan terbuka.

Peran ayah yang teladan adalah yang mampu hadir secara utuh: menumbuhkan nilai, mendengarkan tanpa menghakimi, serta menjadikan perbedaan bukan alasan untuk menjauh, tetapi sebagai peluang untuk tumbuh bersama.

Gerakan Ayah Teladan Indonesia (GATI) yang hadir harapannya bukan hanya sebagai program formal, melainkan sebagai sarana adaptasi strategis bagi para ayah dalam merespons dinamika keluarga masa kini. GATI hendaknya dapat mendorong para ayah untuk tidak hanya hadir secara fisik, tetapi juga secara emosional dan reflektif, serta mampu menyesuaikan diri dengan perubahan zaman.

Melalui pelatihan, diskusi, dan kelas parenting berbasis komunikasi dialogis, GATI dapat memfasilitasi proses pembelajaran bersama yang melintasi batas usia dan budaya.

Aspek lintas budaya menjadi penting karena realitas keluarga Indonesia kini semakin beragam, termasuk pernikahan lintas suku, etnis, dan agama yang menuntut keterampilan komunikasi antarbudaya. Di sisi lain, tantangan lintas generasi pun semakin nyata.

Ayah-ayah dari generasi X atau baby boomer sering kali menghadapi kesenjangan komunikasi dengan anak-anak generasi Z atau Alpha yang tumbuh dalam lingkungan digital yang cepat, kritis, dan sangat terbuka. Dalam konteks inilah, GATI menjadi ruang transformatif yang memungkinkan ayah untuk terus belajar, beradaptasi, dan membangun hubungan yang bermakna di tengah keberagaman zaman dan budaya.

Tiga teori komunikasi memberikan lensa untuk memahami ini. Pertama, Cross-Cultural Adaptation Theory dari Young Yun Kim, yang menggambarkan bagaimana individu termasuk ayah perlu beradaptasi dengan “budaya baru”, yakni cara berpikir dan berkomunikasi generasi anak.

Dalam hal ini ayah yang menghadapi pola pengasuhan modern perlu melalui proses adaptasi emosional dan kognitif: stres, menyesuaikan diri, lalu bertumbuh. Kedua, Anxiety/Uncertainty Management Theory dari William Gudykunst, menekankan perlunya komunikasi yang reflektif dan terbuka agar perbedaan nilai antara orang tua dan anak tidak menjadi jurang.

Bahwa kecemasan dan ketidakpastian komunikasi bisa dikelola jika ayah mengembangkan komunikasi yang mindful dan terbuka.  Ketiga, Intergenerational Communication Theory dari Howard Giles dan Harwood, yang menekankan pentingnya strategi akomodatif agar tidak terjadi jarak atau konflik antargenerasi.

Dalam hal ini mengingatkan, terlalu memaksakan gaya komunikasi anak atau justru menolak berubah, akan sama-sama menimbulkan resistensi dalam keluarga.

Ketiga teori ini secara keseluruhan menekankan pentingnya kemampuan ayah untuk beradaptasi, mengelola ketidakpastian, dan menjembatani kesenjangan komunikasi lintas generasi. Maka, dalam konteks keluarga masa kini, peran ayah menuntut lebih dari sekadar kehadiran fisik atau otoritas tradisional.

Ayah masa kini bukan lagi sosok otoriter yang semua perkataannya harus dituruti. Ia harus belajar menyimak, merangkul, dan mengajak berdialog. Ia perlu mengembangkan kecerdasan emosional, literasi digital, serta kemampuan mendengarkan yang aktif.

Inilah yang diharapkan dari program oleh GATI agar menjadi sebuah pendekatan yang berbasis sebuah ruang transformatif yang membekali ayah dengan keterampilan pengasuhan abad ke-21.

Keluarga adalah tempat pertama seorang anak belajar tentang cinta, kepercayaan, dan nilai-nilai hidup. Ayah yang terlibat tidak hanya memperkuat ketahanan keluarga, tapi juga membentuk generasi yang lebih sehat secara mental, tangguh, dan berkarakter.

Karena itu, memperkuat peran ayah bukan semata agenda normatif, melainkan investasi sosial jangka panjang. Dan di tengah keberagaman Indonesia dalam suku, nilai, dan generasi, semoga GATI memberi kita harapan bahwa menjadi ayah yang hadir, adaptif, dan teladan bukan lagi cita-cita, tapi sebuah keniscayaan.

 

Retno Dewanti P.

Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi

Sekolah Pasca Sarjana, Universitas Sahid Jakarta

BSP GROUP

Baca Lainnya

Literasi dan Penguatan Diri

Zakya Zahra Putri Winci
Zakya Zahra Putri Winci
0
Tim FBD 32 FISIP UB

Cinta Dua Budaya

Dinda Dwimanda
Dinda Dwimanda
0
pria Minangkabau dengan wanita Jawa

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *