Tragedi Longsor Gunung Kuda: Cermin Kegagalan Sistemik Pemkab Cirebon
adainfo.id – Longsor mematikan yang terjadi di kawasan tambang Galian C, Gunung Kuda, Desa Cipanas, Kecamatan Dukupuntang, Kabupaten Cirebon, Jumat (30/05/25), bukan hanya sebuah bencana alam. Ia telah menjelma menjadi simbol dari gagalnya sistem pemerintahan daerah dalam mengelola pembangunan yang berpihak pada keselamatan dan keberlanjutan lingkungan.
Peristiwa yang merenggut nyawa sedikitnya 14 orang dan melukai belasan lainnya ini memantik gelombang kritik dari berbagai kalangan. Salah satunya datang dari Ketua Rakyat Penyelamat Lingkungan (RAPEL), Moh Aan Anwaruddin, yang menilai tragedi ini sebagai konsekuensi dari kegagalan sistemik dalam perencanaan dan pengawasan oleh Pemerintah Kabupaten Cirebon.
Kegagalan Perencanaan: Tambang di Zona Merah Bencana
Aan Anwaruddin, yang juga menjabat sebagai Ketua DPD KNPI Kabupaten Cirebon dan aktif dalam berbagai jaringan lingkungan seperti Walhi, Greenpeace, dan Jatam, menilai bahwa Bappelitbangda (Badan Perencanaan Pembangunan Penelitian dan Pengembangan Daerah) telah gagal menjalankan tugasnya secara komprehensif.
“Dalam hal perencanaan, Bappelitbangda Kabupaten Cirebon gagal mengidentifikasi dan mengantisipasi risiko lingkungan serta keselamatan kerja dalam pembangunan daerah,” tegasnya.
Aktivitas pertambangan yang diizinkan berlangsung di kawasan yang dikenal rawan bencana menunjukkan kelalaian dalam pengkajian risiko. Padahal, menurut catatan RAPEL, Gunung Kuda telah dua kali mengalami longsor besar dalam satu dekade terakhir, yaitu pada 2014 dan kini pada 2025.
Kegagalan Pengawasan: Tambang Masih Beroperasi Meski Sudah Dipasangi Garis Polisi
Tidak hanya berhenti pada persoalan perencanaan, Aan juga menyoroti lemahnya pengawasan yang dilakukan oleh dinas teknis maupun sekretariat daerah. Bukti paling mencolok, katanya, adalah kelanjutan aktivitas tambang meski garis polisi sudah dipasang sejak Februari 2025 pasca laporan awal potensi bencana.
“Ini bukti bahwa pemerintah daerah tidak menjalankan fungsi pengawasan dengan efektif,” ucapnya.
Aktivitas tambang yang tetap berjalan di tengah peringatan dini adalah bukti kelalaian struktural dan kelemahan sistem pengawasan. Hal ini memperparah dampak longsor karena tidak adanya langkah mitigasi yang dilakukan sebelumnya.
Desakan Audit dan Penegakan Hukum
Melihat parahnya dampak bencana, Aan mendesak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan lembaga audit lingkungan lainnya seperti BPKP atau BPK RI untuk segera melakukan audit investigatif terhadap seluruh aktivitas pertambangan di Kabupaten Cirebon.
“Kami mendesak audit investigatif terhadap seluruh izin tambang yang beroperasi, termasuk pelanggaran SOP dan potensi korupsi dalam proses perizinan,” ungkapnya.
Tak cukup hanya itu, RAPEL juga menuntut penegakan hukum yang tegas terhadap pemilik tambang dan pejabat yang lalai menjalankan tugas pengawasan. Kehilangan nyawa dalam skala besar tidak boleh dibiarkan tanpa pertanggungjawaban pidana dan administratif.
Reformasi Tata Kelola Pertambangan
RAPEL bersama jaringan lingkungan lainnya mendorong evaluasi total terhadap sistem perencanaan dan pengawasan pertambangan di Kabupaten Cirebon. Aan menekankan pentingnya reformasi menyeluruh terhadap tata kelola sumber daya alam berbasis prinsip kehati-hatian dan keberlanjutan lingkungan.
“Sudah saatnya Pemerintah Kabupaten Cirebon melakukan introspeksi total. Tragedi Gunung Kuda adalah peringatan keras bahwa kelalaian perencanaan dan pengawasan berakibat pada hilangnya nyawa,” katanya.
Sementara itu, masyarakat sekitar lokasi tambang masih dalam suasana duka. Rasa kehilangan mendalam dirasakan keluarga korban.
Namun di balik kepedihan itu, tersirat pula kemarahan dan kekecewaan atas kelalaian pemerintah yang membiarkan tambang tetap beroperasi.
Warga menyatakan bahwa sejak lama mereka resah dengan aktivitas tambang yang kerap menimbulkan getaran dan debu. Namun keluhan itu sering kali diabaikan oleh aparatur desa maupun kabupaten.
Tragedi ini harus menjadi titik balik bagi Pemerintah Kabupaten Cirebon dalam merumuskan ulang arah pembangunan yang lebih berkelanjutan dan humanis. Pembangunan yang menomorsatukan investasi namun mengabaikan keselamatan warga adalah pembangunan yang cacat moral dan cacat teknis.
Keselamatan warga bukan sekadar tanggung jawab moral, tetapi juga kewajiban konstitusional negara sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28H UUD 1945. Pemerintah daerah tidak bisa lagi berlindung di balik argumen “kewenangan terbatas”, sebab nyawa manusia telah menjadi taruhannya.